Sejarah Dari Pengangkatan Anak di Indonesia – Keinginan untuk generasi mendatang adalah naluri setiap orang. Untuk ini, manusia perlu menikah. Dari perkawinan inilah terjalin hubungan suami-istri, kemudian terbentuklah sebuah keluarga dan anak-anak mereka.
Sejarah Dari Pengangkatan Anak di Indonesia
promode – Oleh karena itu, keberadaan anak tidak hanya dianggap sebagai hasil hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga bukan hanya itu, tetapi juga keinginan instingtif setiap orang.
Karena itu, untuk keluarga tanpa anak, belum lengkap. Bahkan, dalam beberapa kasus, ketidakhadiran anak dianggap memalukan sehingga membuat pasangan suami istri merasa tidak percaya diri.
Namun karena berbagai alasan atau beberapa alasan, keinginan untuk memiliki anak tidak dapat terwujud. Dalam hal ini, berbagai perasaan dan pikiran akan muncul, dan sampai batas tertentu, perasaan dan pikiran tersebut akan menjadi gangguan kecemasan.
Kemudian, salah satu atau kedua belah pihak (baik suami maupun istri) mengungkapkan kecemasan tersebut dalam beberapa bentuk tindakan. Ketika tidak mungkin memperoleh keturunan secara alami berupa anak idaman, salah satu tindakan suami istri adalah mengambil alih anak orang lain.
Selain itu, anak-anak juga diikutsertakan dalam keanggotaan keluarga menggantikan anak yang tidak dapat diperoleh secara alami. Cara memiliki anak dengan cara ini biasanya disebut adopsi dalam istilah hukum perdata Barat, dalam artikel ini penulis menyebutnya sebagai adopsi. `
Adopsi dibedakan menjadi dua definisi, yaitu: pertama, adopsi dalam arti luas. Ini akan membentuk hubungan marga, sehingga harus ada hak dan kewajiban yang sesuai antara anak itu sendiri dan orang tuanya, itu diadopsi dalam arti terbatas.
Dilansir dari etheses, Di Indonesia, berlaku tiga sistem civil law untuk mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan adopsi, yaitu adopsi anak orang lain ke dalam keluarganya sendiri, dan hubungan antara anak angkat dan orang tua angkat terbatas pada hubungan sosial.
Ketiga sistem hukum tersebut adalah hukum perdata Islam, hukum perdata adat dan hukum perdata Barat. Untuk sementara, pembahasan hukum adat dan hukum perdata Barat di sini belum kami sebutkan, melainkan fokus pada hukum Islam.
Baca juga : Proses dan Kriteria Dalam Pengangkatan Anak di Yayasan Sayap Ibu
Pertama, hukum Islam dianggap sebagai cetak biru atau cetak biru Tuhan.Selain mengontrol dan merekayasa sosial keberadaan hukum Islam sebagai sistem sosial, hukum Islam juga memiliki dua fungsi: pertama, kontrol sosial, dan kedua, nilai komunitas.
Pada saat yang sama, kedua, hukum lebih merupakan produk sejarah, dan sampai batas tertentu digunakan sebagai alasan untuk tuntutan perubahan sosial, budaya dan politik. Oleh karena itu, dalam hal ini hukum Islam dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan permasalahan umat tanpa kehilangan prinsip dasarnya.
Sebab jika hal ini tidak dilakukan, kemungkinan besar hukum Islam akan berdampak bagi kemaslahatan Uma. Oleh karena itu, jika para pemikir hukum tidak memiliki kemampuan atau keberanian untuk mengaktualisasikan kembali dan meramalkan setiap masalah yang muncul di masyarakat dan mencari solusi hukum, maka hukum Islam akan kehilangan realitasnya.
Tema utama Kumpulan Hukum Islam (KHI) adalah untuk memajukan hukum Islam di Indonesia yaitu melengkapi pilar-pilar keadilan agama, sehingga masyarakat memiliki pemahaman yang sama dalam penegakan hukum, dan mempercepat Taqribi Bainal Ummah (Taqribi Bainal Ummah). Memproses dan menghilangkan konsep urusan pribadi.
Namun, yang terkait dengan masalah dalam penelitian ini adalah bahwa metode adopsi tersebut sesuai dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang bersangkutan, serta metode dan motivasi yang diadopsi berbeda.
Fakta tersebut antara lain dapat dilihat pada Kumpulan Hukum Islam. Disebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak angkat adalah anak yang mengalihkan tanggung jawab dari orang tua semula kepada orang tua angkat dalam hal pemeliharaan kehidupan sehari-hari dan biaya pendidikan sesuai dengan putusan pengadilan.
Adopsi dirancang untuk membantu atau mengurangi beban hidup orang tua kandung, dan adopsi biasanya bertujuan untuk memperpanjang keturunan tanpa menikah. Ada juga orang yang menargetkan umpan seperti Jawa. Menurut kepercayaan ini, dengan mengadopsi seorang anak, sebuah keluarga akan memiliki anak sendiri.
Selain itu, ada beberapa hal yang disebabkan oleh rasa sedih kepada anak yatim, kekurangan yang tidak kunjung hilang, dan alasan pengabaian atau ketidakmampuan orang tua untuk menyediakan kebutuhan hidup.
Sebelum masuknya Islam, adopsi Arab telah menjadi tradisi turun-temurun yang disebut Tabanni1, yang berarti bahwa anak-anak orang lain diperlakukan sebagai anak kandung sehingga ia berhak menggunakan harta warisan orang tua angkatnya Dan mewarisi hak waris.
Hak lain sebagai hubungan antara anak dan orang tua. Penting untuk ditekankan bahwa pengadopsian harus dilakukan melalui proses hukum atas produk yang dipesan oleh pengadilan.
Jika hukum adalah penjaga dan insinyur sosial, maka adopsi anak, yang harus dilakukan melalui putusan pengadilan, akan membuat kemajuan dalam mengekang adopsi anak yang hidup dalam masyarakat, sehingga memungkinkan untuk mengadopsi anak di masyarakat.
Masa depan memiliki kepastian hukum yang baik, anak angkat dan orang tua angkat. Praktik mengadopsi anak melalui pengadilan ini telah dikembangkan baik di pengadilan lokal maupun di pengadilan agama dan berlaku untuk Muslim.
Sejarah Dari Pengangkatan Anak di Indonesia
Mengenai ketentuan pengangkatan, Undang-Undang Nasional Nomor 129 Tahun 1917 terkait dengan Undang-Undang Nasional Nomor 81 Tahun 1919, Undang-Undang Nasional Nomor 557 Tahun 1924, dan Undang-Undang Nasional Nomor 2525 Tahun 1925. Bab kedua terkait untuk seluruh Indonesia Ketentuan Hukum Perdata dan Hukum Dagang Cina Daratan telah disediakan.
Staatsbladini berlaku untuk penduduk keturunan Tionghoa. Definisi adopsi tidak ditemukan dalam artikel staatsblad. Untuk memahami arti adopsi, silakan baca artikel berikut ini (termasuk Pasal 5):
Jika seorang laki-laki yang sudah menikah atau sudah menikah tidak memiliki keturunan laki-laki saat lahir atau diadopsi, maka dia dapat mengangkat seorang laki-laki sebagai anaknya.
Pengadopsian ini harus dilakukan oleh laki-laki bersama istrinya, atau jika dilakukan oleh laki-laki setelah putusnya perkawinan, dia diperbolehkan untuk mengangkat seorang laki-laki sebagai anaknya seperti yang dijelaskan pada paragraf pertama pasal ini.
Jika selama periode ini, suami yang meninggal telah menyatakan melalui surat wasiatnya bahwa dia tidak ingin istrinya mengadopsi anak tersebut, maka dia tidak boleh mengadopsi anak tersebut.
Ketentuan pasal ini ditujukan untuk orang tua angkat. Mengenai calon anak angkat, dapat dilihat dari Pasal 6: “Hanya laki-laki Tionghoa yang belum menikah yang bukan anak-anak dan belum diadopsi oleh orang lain.” Menurut ungkapan klausul tersebut, artinya dapat ditarik kesimpulan seperti itu.
Kesimpulan: Pada dasarnya, alasan mengapa laki-laki menikah atau menikah atau janda yang bercerai tidak mengadopsi keturunan laki-laki di antara laki-laki adalah: kelahiran atau adopsi, yang mengarah pada adopsi anak untuk mendapatkan hukum, dan nama keluarga mengadopsi status dari anak yang sah, Memutuskan semua hubungan perdata dengan keluarga asal, dan mewarisinya dari keluarga orang tua angkat.
Putusan Pengadilan Negeri Khusus Jakarta No. 907/1963 / P tanggal 29 Mei 1963 memperluas definisi adopsi berdasarkan Staatsblad 1917 No.129 dalam perkembangannya, bahkan dalam Pasal 15 (2), hanya dapat menargetkan anak laki-laki diadopsi.
Beberapa orang mengatakan bahwa mengadopsi anak sebagai perempuan tidak sah. Pada tanggal 17 Oktober 1963, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Khusus Nomor 588/1963 / G menyatakan bahwa larangan adopsi anak perempuan dalam Pasal 129, Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 16 UU 1917 tidak berdasar, Dan memerintahkan notaris publik untuk menolak mengeluarkan surat pengangkatan anak perempuan tersebut sesuai dengan permintaan penggugat.
Yurisprudensi tersebut memperluas konsep adopsi, yaitu adopsi dapat diterapkan tidak hanya pada pria Tionghoa, tetapi juga pada anak perempuan.
Terlepas dari Yurisprudensi yang membolehkan orang tua angkat, putusan Pengadilan Negeri Bandung No. 32/1970 tanggal 26 Februari 1970 menyatakan bahwa orang tua angkat yang tidak kawin memiliki anak angkat secara sah.
Yurisprudensi ini memperluas Pasal 12 Undang-Undang Nomor 129 Tahun 1917 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 129 Tahun 1917 untuk membatasi dan mengatur siapa yang boleh mengadopsi.
Perempuan yang belum menikah juga boleh mengadopsi anak, laki-laki hanya boleh mengadopsi, tetapi perempuan juga bisa mengadopsi. Begitu pula aturan tentang orang tua angkat tidak terbatas pada perempuan yang sudah menikah atau sudah menikah dan bercerai, tetapi perempuan yang belum menikah juga dapat mengadopsi anak.
Hukum keluarga tradisional Tiongkok mengikuti keturunan laki-laki (patrilineal). Oleh karena itu, nama belakang (dia atau tanah pertaniannya, seperti Tan, Oie, Lim) diturunkan melalui keturunan laki-laki.
Jika tidak ada keturunan laki-laki yang meneruskan nama belakang mereka, mereka akan membesarkan anak laki-laki dari keluarga lain. Oleh karena itu, asas adopsi hanya dapat dilaksanakan oleh satu orang saja, karena orang Tionghoa memiliki kewajiban untuk memastikan agar anggota keluarganya tidak punah, dan keturunannya tetap menjaga abu leluhurnya.
Adopsi merupakan bagian dari Staatblad 1917 Nomor 129 juncto Staatsblad 1919 Nomor 81, Staatsblad1924 Nomor 557, Staatsblad1925 Nomor 93, yang melibatkan semua hukum perdata dan perdagangan Indonesia melawan Cina dan hanya berlaku untuk masyarakat Cina.
Dalam perkembangannya, pandangan orang Tionghoa tentang kekerabatan telah berubah, dari patrilineal menjadi orang tua atau orang tua. Perubahan persepsi ini dipengaruhi oleh berlakunya Undang-undang Perdata, pendidikan dan agama Kristen, dan banyak dari mereka yang bersikeras melakukannya.
Badan adopsi tetap diperlukan, namun tujuannya berbeda dengan tujuan semula. Bagi mereka yang belum memiliki anak untuk mengisi kekosongan dalam keluarga atau mengurus masa tuanya, terkadang hadir anak angkat. Oleh karena itu, adopsi tidak perlu dibatasi pada anak laki-laki.
Baca juga : Sri Lanka Larangan Burqa untuk Keamanan Nasional
Pasal 15 (2), 1917, Pasal 129 menegaskan bahwa pengangkatan anak perempuan menurut hukum adalah tidak sah dan tidak sah. Pengangkatan anak perempuan tidak dapat dilakukan melalui notaris, karena pengangkatan anak hanya tersedia untuk anak laki-laki.
Pada saat itu, solusi yang lebih memungkinkan adalah dengan mengeluarkan putusan pengadilan; pada saat yang sama, hanya calon orang tua angkat dengan suami atau istri atau janda yang diceraikan yang semula diperbolehkan.
Putusan Pengadilan Negeri Bandung No. 32/1970 (1970) 26 Februari, 2016) diperluas, dan diumumkan bahwa orang tua angkat yang belum menikah akan mengadopsi anak secara resmi.
Burgelijk Wetboek tidak mengatur adopsi, tetapi dalam perkembangannya sejak 1956, Burgelijk Wetboek telah mengatur untuk adopsi. Latar belakang pengaturan ini terutama karena keinginan masyarakat untuk memberikan pengasuhan kepada anak-anak tanpa orang tua atau yang orang tuanya kurang beruntung, dan mereka yang diperbolehkan berpacaran di Burgelijk Wetboek hanyalah pasangan yang belum menikah.
Dia punya anak sendiri dan sudah menikah, lebih dari lima tahun. Anak yang lahir di luar nikah mungkin tidak dapat mengadopsi anak. Anak yang lahir di luar nikah tersebut dapat dikenali dan dilegalkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.