Seorang Polwan Gagal Mengadopsi Bayi Dikarenakan Bergama Minoritas

Seorang Polwan Gagal Mengadopsi Bayi Dikarenakan Bergama Minoritas – Di Indonesia, banyaknya bayi terlantar menggerakkan siapa saja yang memiliki hati nurani. Namun, seorang polisi wanita di Binjai, Sumatera Utara, harus kecewa karena tidak mengadopsi bayi terlantar.

Seorang Polwan Gagal Mengadopsi Bayi Dikarenakan Bergama Minoritas

promode – Ini karena dia tidak memenuhi persyaratan untuk mengadopsi bayi terlantar, yang harus menjadi keyakinan agama kebanyakan orang. Jurnalis harian lokal Binjai, Johannes Surbakti, mengungkapkan keprihatinannya atas kejadian tersebut.

Dia berbagi kisah emosional tentang seorang polisi wanita yang gagal mengadopsi bayi karena dia memeluk agama minoritas. Dalam postingan yang diterbitkan pada tanggal 5 Oktober ini, Yohanes menulis:

Dikutip dari tribunnews, Peraturan Kota Binjai tentang anak terlantar / terlantar hanya dapat diadopsi oleh penduduk dari sebagian besar agama. (Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007) Oleh karena itu, Kepala Dinas Sosial Binjai HT Syarifuddin mencontohkan bahwa bayi yang ditemukan sekarat karena ditinggalkan kardus di parit tersebut diadopsi oleh umat Kristiani yaitu Polisi wanita. Kemudian, anak tersebut diserahkan ke panti asuhan di Medan.

Postingan ini tetap populer hingga Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) berpidato. Reza Indragiri Amriel, Penanggung Jawab LPAI Realisasi Hak Anak, mengatakan keinginan polisi wanita yang belum mengadopsi bayi di Binjai harus dihormati.

“Namun, sebagai warga negara yang baik, apalagi yang bersangkutan juga merupakan lembaga hukum, ia harus taat pada hukum.” PP No. 54 tahun 2007 tentang pelaksanaan adopsi anak melarang polisi wanita Binjai yang baik hati mengadopsi bayi terlantar.

Baca juga : Prosedur Dalam Adopsi Bayi Baru Lahir Menurut Hukum di Indonesia

Pasal 3, ayat 2 dengan jelas mengatur aturan untuk mengadopsi bayi yang tidak diketahui asalnya. “Jika Anda tidak tahu tempat kelahiran anak, sesuaikan agamanya dengan agama mayoritas penduduk setempat.”

Sejak Presiden SBY mengesahkan aturan tersebut pada tanggal 3 Oktober 2007, efek hukumnya berlaku untuk seluruh Indonesia. Lantas, apakah peraturan pemerintah akan menghalangi niat baik seseorang untuk memberikan perlindungan dan perawatan bagi bayi terlantar?

PP tentang perlindungan anak mengatur tentang keyakinan agama anak yang tidak diketahui asalnya sehingga mereka mengikuti keyakinan agama mayoritas penduduk lokal, bukan keyakinan agama mayoritas penduduk negara.

Oleh karena itu, jika mayoritasnya penduduk Binjai tersebut beragama Kristen, maka polisi wanita tersebut tetap dapat mengadopsi bayi itu. Disarankan agar polisi wanita datang ke panti asuhan dengan keyakinan yang sama dan mengadopsi seorang anak di sana untuk menghindari pelanggaran hukum yang disebutkan di atas.

Sayangnya, mengadopsi anak ini tidak semudah dengan mengadopsi hewan peliharaan. Jika tidak tersedia, mudah untuk mencari penggantinya. Polisi wanita itu jatuh cinta dengan bayi terlantar, dia ditemukan sedang bertugas dan mengadopsi bayi malang itu.

Namun, karena melanggar peraturan, dia tidak bisa mewujudkan keinginannya untuk memberi bayi itu rumah dan cinta. Pemerintah Kota Binjai sendiri dengan tegas menyatakan hal tersebut dilakukan karena mengikuti aturan. Ini bukan karena ras.

Jika tidak ada yang mau mengadopsi bayi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka bayi tersebut akan dikirim ke panti asuhan di Medan. Kejadian ini tentu menjadi perhatian kami.

Seorang bayi yang ditelantarkan oleh orang tua kandungnya dan berkesempatan untuk menyayangi ibunya dengan sepenuh hati, namun kesempatan ini hilang karena peraturan pemerintah.

Sekaranglah waktunya untuk meninjau kembali aturan-aturan ini, agar tidak menghalangi niat baik mereka untuk mengadopsi, atau mencegah masa depan anak-anak terlantar bisa mendapatkan keluarga dan juga masa depan yang lebih baik daripada tinggal di sebuah panti asuhan.

Anak itu amanah. Keberadaannya adalah anugerah, dan banyak orang tua yang ingin meneruskan keturunannya. Beberapa pasangan suami istri yang berharap segera memiliki anak atau pasangan yang membesarkan keluarga jangka panjang belum mendapatkan restu dari anak tersebut, dan mereka rela mengadopsi berbagai cara untuk memiliki anak.

Caranya sudah selesai, mulai dari konsumsi makanan yang dipercaya bisa membantu kesuburan, hingga penggunaan teknologi terkini (seperti bayi tabung). Prinsipnya, kehadiran anak dalam pernikahan akan menambah kebahagiaan pasangan.

Dengan cara ini, ketidakhadiran anak dalam perkawinan dapat menyebabkan ketidakharmonisan, dan beberapa bahkan dapat berakhir dengan perceraian. Jika pasangan suami istri menghadapi keadaan ini, maka dalam ketentuan yang berlaku, bentuk persalinan lain yang dapat diadopsi adalah adopsi.

Menurut buku “Undang-Undang Adopsi Indonesia” (2011) disebutkan bahwa Mahmud Syaltut, mantan rektor Universitas Al Azhar Kairo, menjelaskan ketika mendalami hukum Islam ada dua definisi adopsi, yaitu:

Merawat anak orang lain dan mendidiknya dengan cinta, alih-alih memberinya status “anak yang sebenarnya”, hanya orang tua angkatnya yang menganggapnya sebagai anak sendiri.

Menyikapi anak orang lain sebagai anaknya, ia diberi status “anak kandung”, sehingga berhak menggunakan nama keturunan orang tua angkatnya (nasab) dan mewarisi hak waris satu sama lain, serta berdasarkan hak lainnya. tentang hubungan antara anak angkat dan orang tua angkat.

Dalam arti, anak angkat lebih didasarkan pada perasaan seseorang yang merupakan orang tua angkatnya untuk membantu orang tua kandung dari anak angkat atau perasaan pasangan suami istri yang tidak memiliki bakat keturunan, sehingga menjadikan anak angkat tersebut. Dididik atau bersekolah, semoga kelak mereka bisa menjadi anak yang mandiri.

Proses mengadopsi anak bisa menjadi proses yang panjang dan rumit, dan kendala hukum dan keuangan jauh lebih rumit daripada yang dipikirkan banyak orang. Rita Soronen, CEO Dave Thomas Adoption Foundation, menyatakan pentingnya memahami motivasi calon orang tua angkat sebelum melanjutkan proses adopsi.

Di Indonesia, pemerintah Bangda belum sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan masyarakat akan adopsi. Meskipun pada kenyataannya prosedur yang jelas telah ditetapkan, dan prosedur tersebut telah disahkan secara hukum melalui undang-undang (UU) atau kebijakan terkait adopsi.

Pengaturan Adopsi berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia adalah tindakan memindahkan anak dari kewenangan orang tua / wali yang sah ke lingkungan orang tua angkat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). . Nomor 54 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pengangkatan Anak.

Dengan adanya perlindungan hukum adopsi, sebagian orang yang pernah mengalami kondisi ingin segera memiliki anak namun belum melewati kandungan istri dapat lolos dalam proses adopsi.

Padahal, sebelum berlakunya “Peraturan Pemerintah tentang Pengangkatan Anak”, ketentuan tentang adopsi juga sudah tercantum dalam UU No. Ketentuan 23 Februari 2002 tentang Perlindungan Anak sepenuhnya untuk kepentingan atau kepentingan terbaik anak.

Oleh karena itu, negara menjamin kepatuhan terhadap ketentuan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, Pasal 13 mengatur bahwa calon orang tua angkat harus memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain:

Usia minimal 30 tahun dan maksimal 55 tahun, Kesehatan fisik dan mental, Agamanya sama dengan agama calon anak angkat, Telah menikah minimal 5 tahun, Tingkah laku yang baik, tidak pernah dihukum, Bukan pasangan yang sejenis, Tidak ada atau tidak ada anak atau hanya satu anak, Dalam keadaan kapasitas ekonomi dan sosial

Prosedur adopsi anak

Calon orang tua angkat harus melakukan beberapa prosedur. Beberapa mekanisme tersebut adalah:

1. Orang tua yang ingin mengadopsi anak akan mengirimkan surat lamaran. Jika adopsi terjadi antara orang tua WNI-WNI dan orang tua tunggal WNI, serahkan surat permohonan adopsi anak ke Dinas Sosial Provinsi (Dinsos). Jika adopsi terjadi antara orang tua warga negara Indonesia dan warga negara asing, ajukan permohonan adopsi anak ke Kementerian Sosial (Kemensos).

Baca juga : Pengertian, Jenis Jenis Ekosistem Air

2. Setelah Dinas Sosial atau Kementerian Sosial menerima permohonan adopsi, maka akan dibentuk Kelompok Konsultasi Izin Adopsi (Tipa).

3. Tim Tippa mengirimkan tim pekerja sosial (Peksos) ke rumah calon orang tua angkat. Tim Peksos berdialog dengan calon orang tua yang secara psikologis, sosial, dan ekonomi mampu dan ingin memperoleh perwalian. Tim Peksos juga akan mengunjungi calon orang tua angkat sebanyak dua kali dalam waktu enam bulan.

4. Tim Peksos mengirimkan hasilnya ke tim Tippa.

5. Berdasarkan rekomendasi tim Peksos, tim Tippa akan membutuhkan integritas dari orang tua angkatnya, antara lain:

Pasangan harus menikah, dengan usia minimal 25 tahun dan usia maksimal 45 tahun.
Bukti pernikahan yang sah, minimal 5 tahun. Nilai apa pun di bawah nilai ini akan dilarang.
Sertifikat kesehatan fisik dan mental diberikan oleh rumah sakit.
Bukti tidak pernah melanggar hukum atau Surat Keterangan Catatan Polisi (SKCK).
Sertifikat pendapatan untuk adopsi anak yang benar.

6. Jika semua syarat tersebut terpenuhi, maka Menteri Sosial akan membuat rekomendasi berdasarkan rekomendasi dari Tepa Group untuk memperbolehkan mereka mengadopsi anak.

7. Surat rekomendasi untuk mengadopsi anak dikeluarkan. Orang tua angkat diberikan perwalian sementara selama enam bulan.

8. Setelah enam bulan pengasuhan sementara, pengadilan akan memutuskan untuk mengadopsi anak tersebut.